kita semua menyukai hujan ketika kecil. kita bermain hujan-hujanan seharian sampai kulit mengkerut, kedinginan sampai bibir membiru, dan akhirnya dimarahi ibu dan diseret pulang. haha, terdengar menyenangkan sekali sekali, bukan? kecuali bagian dimarahinya.
semakin tua, semakin kita merasa sebal dengan hujan. banyak hal terbengkalai karenanya, bertumpuk-tumpuk jemuran harus tertunda, demam yang tak kunjung reda, atau terlambat ke suatu tempat karena mencari tempat berteduh.
berbeda denganku. hingga beranjak dewasa pun, aku masih menyukai hujan. setiap rintiknya sungguh menenangkan. tiada alasan untuk berteduh, merasakan setiap gemerciknya ketika mengenai badan adalah satu kenikmatan. setiap tetesan yang mengandung rahmat dari Tuhan, kenapa harus ditolak. begitu pikirku.
sampai tiba suatu waktu, di satu sore yang gelap. petir menyambar-nyambar, angin kencang meniup kokoh pepohonan. waktu itu, aku bersamanya. orang yang telah menemaniku selama beberapa waktu ini. dia adalah yang pertama, yang mampu melumpuhkan hatiku dengan kebaikan-kebaikan dan kelembutan hatinya. sore itu, aku merasa bahwa aku akan segera kehilangannya. sikapnya dingin sekali, jauh lebih dingin daripada hujan deras yang turun kala itu. dan benar saja, dia meninggalkanku karena alasan yang tidak jelas. kenapa? begitu pikirku, pikiran yang membayang-bayangi hingga hari ini.
kini aku melihat hujan tak lagi sama. dia dingin, lebih dingin daripada hawa yang dibawanya. tidak ada lagi sukacita, setiap tetesnya mengingatkanku akan kejadian di sore itu. semakin deras, semakin teringat. kini aku mengerti, mengapa orang-orang begitu membenci hujan, atau bila tidak bisa disebut membenci, mereka tidak menyukainya. orang-orang itu akan terpanggil kembali ingatan-ingatannya, terutama ingatan yang tidak menyenangkan, yang terjadi karenanya. karena hujan.
No comments:
Post a Comment