Tuesday, 14 September 2021

Ketakutan terbesarku

 growing up is hard. menjadi dewasa itu tidak mudah. kata orang, "first time is always hard." hal yang pertama kali dilakukan pastilah sulit. pertama kali naik sepeda, pertama kali berjalan, pertama kali hidup jauh dari orang tua, dan berbagai macam pertama kali yang lain. begitu pula dengan tumbuh dewasa. semua orang mengalaminya, dan semua orang belum pernah mendapat pelatihan sebelumnya. kaget. takut.

dulu, kesulitan terbesar adalah masuk kelas fisika yang gurunya galak setengah mati, atau pr matematika yang gurunya juga tak kalah galaknya. tantangan terbesar dalam hidup adalah mempertahankan nilai yang baik atau mempertahankan ranking agar selalu 3 besar di kelas, bahkan di kelas parallel. bangun pagi, belajar sampai siang atau sore, lalu lanjut les sampai malam. ilusi kontinuitas yang berbahaya. seolah semua akan berjalan seperti itu selalu.

dulu yang gak dulu-dulu banget, mengerjakan laporan praktikum (dan tentu praktikumnya itu sendiri) adalah hal yang sangat melelahkan. njelehi. ketakutan terbesar adalah bila saat praktikum lalu asisten praktikumnya galak, dan deadline laporan yang mengintai setelahnya. begadang pun jadi solusi. lalu paginya harus masuk kelas lagi. kuliah meski badan lelah. lagi-lagi ilusi kontinuitas membuatku merasa hal itu akan terus berlangsung. padahal setelah 4 tahun, sudah tidak lagi.

masa setelah lulus kuliah adalah masa yang justru lebih sulit lagi. memang sudah tidak ada begadang-begadangan untuk buat laporan, tidak ada lagi asisten praktikum yang galak, atau pr pemodelan aliran laminer yang menjemukan itu. tapi tantangan selanjutnya jauh lebih memberatkan, dan banyak yang tidak siap. aku pun tak siap. terpontang-panting melamar kerja sana-sini. seluruh pulau jawa telah dipindai. banyak harapan palsu diumbar oleh sang pemberi kerja. "dua minggu lagi akan dikabari." tapi dua minggu lantas menjadi dua bulan, dan dua tahun. tidak ada kabar. tidak ngapa-ngapain itu ternyata jauh lebih  melelahkan daripada lelah setelah ngapa-ngapain. beban pikiran yang tinggi, merasa diri tak berharga, menjadi bahan pergunjingan kanan-kiri, seolah menjadi santapan sehari-hari. "aku dulu sangat cemerlang ketika sekolah, dan tidak kalah cemerlang ketika kuliah, tapi mengapa sekarang semuanya berubah. ternyata aku tidaklah secermelang itu."

kembali menaruh harap pada mimpi yang tertunda. berkuliah di negeri matahari terbit. 5 bahkan 7 kali melamar, tidak pernah tembus. lagi-lagi, muncul perasaan bahwa diri ini tak berharga, tidak cukup baik untuk melakukan apa-apa, sehingga tidak ada yang mempercayakan untuk memberikan tanggung jawab apa-apa, entah tanggung jawab pekerjaan atau lulus dari kuliah yang mereka biayai dengan beasiswanya.

bahkan setelah sekarang mendapatkan pekerjaan yang lumayan settled pun, rasa takut akan masa depan itu tak kunjung pudar. takut bahwa aku akan menjadi begini-begini saja. ketakutan bahwa mimpi-mimpi yang telah terpendam sejak lama hanya akan terpendam selamanya. ketakutan bahwa diri ini akan terus menjadi medioker, tidak menjadi orang-orang hebat yang selama ini buku karangannya atau buku tentang dirinya senantiasa menjadi bahan bacaan.

ketakutan akan menikah tidaklah semata-mata pada pernikahan itu sendiri, namun lebih kepada konsekuensi di baliknya. menjalani hidup secara medioker, lalu ketika nanti punya anak takut bahwa mereka juga akan menjadi medioker. memang tidak ada salahnya menjadi medioker. tapi ketakutan itu tetap saja muncul.


tangerang selatan, 14/9/21

menulis 30 menit per hari bagaimanapun hasilnya




No comments:

Post a Comment