Satu-satunya rasa yang kita tak perlu adaptasi dulu untuk bisa menikmatinya adalah rasa manis. Bayi yang baru lahir sekali pun bisa menikmati rasa manis. Tidak seperti rasa asin, asam, bahkan pedas yang harus dibiasakan dulu sampai akhirnya kita bisa nikmati.
Selama ribuan tahun, manusia telah memanfaatkan madu sebagai sumber utama pemberi rasa manis bagi makanannya. Sebuah lukisan gua berusia 8000 tahun di Spanyol menunjukkan bagaimana manusia di zaman itu memperoleh madu dari sarang lebah.
Namun, madu punya kelemahan. Selain ada risiko tersengat lebah untuk mendapatkannya, madu juga bisa "merusak" rasa makanan. Teh yang dicampur madu, misalnya, akan terasa seperti madu pula.
Lalu munculah zat pemanis yang tidak merusak rasa, dan tidak menyengat. Zat penghasil "madu" yang bisa ditanam sendiri tanpa bergantung pada lebah. Kristal putih manis yang berasal dari tanaman Saccharum officinarum. Gula tebu.
Buku Sugar Changed the World karangan Marc Aronson dan Marina Budhos merupakan sebuah esai singkat bagaimana gula selain menjadi sumber energi kita sebagai individu juga menjadi (salah satu) penggerak peradaban manusia selama beberapa abad terakhir.
Ternyata madu tak melulu dari lebah
Suatu ketika, dalam perjalanannya untuk menginvasi India, Alexander Agung (Alexander the Great) menemukan suatu tanaman yang batangnya memberikan rasa manis. Tanaman tersebut tak lain adalah tebu (Saccharum officinarum). Batang tebu selama beberapa abad telah menjadi bagian penting dari upacara keagamaan di India, batang tebu dibakar sehingga pada akhir upacara akan didapati sejumput kristal yang terasa manis. Namun, ternyata tebu bukan merupakan tanaman asli India.
Tanaman tebu diyakini berasal dari Papua Nugini 8000 tahun silam. Akibat jaringan perdagangan dan sebagainya sampailah tanaman itu jauh ke India. Kini, orang bisa "menanam" madunya sendiri, tanpa risiko tersengat lebah, tanpa merusak rasa makanan. Penemuan tanaman tebu telah mengakhiri zaman madu.
Dari ritual ke industrial
Pengetahuan bahwa batang tebu yang dipanaskan akan menghasilkan gumpalan gula kembali menggemparkan. Hal itu memungkinkan orang untuk memiliki dan menyimpan zat pemanisnya sendiri, tanpa harus memeras batang tebu. Orang India yang menyadari hal itu mulai membuat pabrik gulanya sendiri. Tentu saja pabrik di sini tidak seperti yang kita pikirkan saat ini. Bayangkan seperti apa wujudnya pada abad pertama masehi.
Universitas tertua di dunia, Jundi Shapur pada awal abad ke 6 masehi mempelajari pembuatan gula. Para ahli dari berbagai tempat dikumpulkan tuk membuat formulasi gula yang baik mulai dari penanaman tebu, pengolahan tebu menjadi gula kristal, hingga penggunaan gula sebagai obat. Sangat ironis ketika hari ini, gula justru menjadi salah satu "musuh" utama kita dan menyebabkan berbagai macam penyakit mematikan, alih-alih menjadi obat.
Abad ke-7 masehi, Pasukan muslim menaklukkan Jundi Shapur dan menyebarkan teknik pembuatan gula lebih jauh lagi ke negeri-negeri Islam. Masih sangat jauh sampai industrialisasi gula akan sampai kepada yang kita bayangkan selama ini. Tapi kira-kira karena para pasukan muslimlah, pengetahuan tentang pembuatan kristal gula sampai juga ke Eropa.
Bangsa Mesir pada abad 12an mulai memproduksi kristal gula yang lebih putih dan lebih bersih dibandingkan pabrik-pabrik di mana pun di dunia. Rahasia mereka adalah dengan mencampurkan susu selama proses pemasakan kristal gula. Di sisi lain, bangsa Eropa mulai melakukan kegiatan jual-beli dengan negeri-negeri Islam. Gula sudah mulai "mendunia". Tetapi, dengan proses yang sangat tidak efisien, harga gula jadi sangat mahal. Hanya kalangan bangsawan yang bisa menikmatinya.
Tebu mendarat di dunia baru
Tanaman tebu tidak bisa hidup di tanah Eropa dengan iklim dinginnya. Akhirnya, para kolonialis Eropa mencoba menanam di daerah koloni mereka di Afrika, ke daerah yang beriklim lebih hangat. Spanyol menduduki Kepulauan Canaria (Canary Islands), dan Portugis menduduki Pulau Madeira. Di Madeira lah, produksi gula waktu itu yang paling maju.
Dunia kembali digemparkan ketika Columbus menemukan "dunia baru" pada 1492. Setelah melapor ke raja Spanyol, armadanya kembali ke Hispaniola pada tahun 1493 sambil membawa bibit tebu dari Canaria. Sebenarnya misi utama para pelaut Spanyol (salah satunya) adalah emas (ingat 3G: gold, glory, gospel), tapi raja melihat prospek industri emas putih (alias kristal gula), dengan permintaan yang sangat tinggi tapi produksinya masih terbatas.
Tak lama setelah itu, Portugis secara tak sengaja "menemukan" Brazil, atau lebih tepatnya menyasar ke Brazil, dalam perjalanan diplomatnya Pedro Álvares Cabral ke India. Tahun segitu memang umat manusia belum sepenuhnya mengenal dunia baru, dan navigasi juga sulit. Entah apakah menyasarnya diplomat Portugis tersebut ke Brazil adalah sebuah petaka atau berkah (tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya). Koloni baru pun terbentuk, bersamaan dengan sentra tebu dan gula yang baru di Brazil. Budak-budak dari Angola pun dikirimkan ke sana. Hingga ada sebuah pepatah "Kalau tidak ada Angola, tidak akan ada Brazil."
Industri gula pun berkembang pesat. Dengan tenaga kerja super murah (alias gratis) dari para budak di Amerika Latin, konsumsi gula per kapita Inggris naik drastis dari 18 pound per tahun menjadi 90 pound. Naik lima kali lipat! Gula yang tadinya merupakan barang mewah menjadi kebutuhan sehari-hari. Raja Henry III tadinya membeli gula dari Mesir dengan harga 490 dollar (ukuran hari ini) untuk 3 pound, dan harganya sangat anjlok hingga bahkan buruh pabrik di Inggris pada revolusi industri pun bisa membelinya, dan mulai menambahkan kristal putih itu ke teh mereka. Btw, teh di Eropa mulanya berasal dari Asia timur, tapi itu untuk pembahasan yang lain saja.
Abolisionisme: semua manusia setara
Setelah semua orang di Inggris pada akhirnya bisa menikmati emas putih dengan murah dan mudah, lalu muncul golongan aktivis "abolisionis" yang mulai mengkritik perbudakan. Berbagai pamflet, pernak-pernik, dan artikel koran dibuat. Di setiap kristal manis yang orang Eropa nikmati, ada darah dan air mata para budak kulit hitam di Amerika. Gambar-gambar ilustrasi penyiksaan dibuat tuk menarik simpati. Awalnya, sedikit sekali orang yang mau mendengar mereka. Para abolisionis berpesan tuk "memboikot" gula-gula yang produksinya berasal dari pabrik atau industri pemakai budak kulit hitam. Semua manusia itu setara, "all men are equal" sehingga tidak boleh ada manusia yang memiliki manusia lain sebagai properti. Setelah berbagai kampanye, akhirnya abolisionis berhasil menarik simpati orang-orang Inggris. Gula-gula murah (atau bahkan terlampau murah) dari para produsen pemakai tenaga budak akhirnya kehilangan pamornya.
Tak hanya di Inggris, gerakan abolisionisme pada akhirnya mencapai Eropa daratan. Revolusi Perancis dengan jargonnya liberté, égalité, fraternité juga menuntut penghapusan perbudakan di koloni-koloninya di dunia baru. Sehingga, pada 1794 pemerintahan yang baru melarang praktik perbudakan di Perancis dan semua koloninya. Namun hal itu tidak berlangsung terlalu lama, karena pada 1802 Napoleon Bonaparte kembali menggalakkan perbudakan, karena melihat industri gula Inggris yang masih menguasai dunia dan jauh mengungguli Perancis. Saat itu, sebagian wilayah di Hispaniola yang merupakan koloni Perancis juga sedang terjadi revolusi para budak. Revolusi tersebut akhirnya berakhir pada 1 Januari 1804 dengan kemenangan para (mantan) budak industri gula Perancis, dan mereka mengubah nama wilayahnya menjadi Republik Haiti.
Teknologi sebagai pembebas yang sebenarnya
Gerakan abolisionis di berbagai negara memang menjadi salah satu alasan dibebaskannya budak-budak di dunia baru. Tetapi, di sisi lain teknologi juga berperan serta. Setelah revolusi industri yang pertama, banyak inovasi terkait proses-proses kimia di industri yang secara signifikan meningkatkan efisiensi pabrik gula, contohnya adalah kuali pendidih (boiling vessel) yang tertutup alih-alih terbuka, sehingga tidak banyak panas yang keluar dari sistem. Hal itu mampu mengurangi kebutuhan tenaga kerja secara drastis, dengan hasil yang jauh lebih bnayak dibandingkan sistem yang sebelumnya.
Selain itu, juga terdapat penemuan di bidang kimia bahwa tanaman bit gula (sugar beet) dapat diproses juga untuk menghasilkan kristal gula yang sama persis dengan kristal gula dari tebu. Hal ini lagi-lagi menggemparkan Eropa, karena tanaman bit dapat ditanam di iklim ekstrem Eropa, dan dengan memperpendek jalur distribusinya ke konsumen, harganya pun menjadi bisa bersaing dengan gula tebu dari Amerika.
Kemudian pada abad 20an, dengan semakin majunya teknologi industri, ditemukan banyak senyawa pemanis buatan, seperti aspartame, saccharine, dll yang memiliki tingkat kemanisan beratus kali lipat dibandingkan gula tebu. Gula kini tak lagi harus ditanam di perkebunan, tapi bisa juga dibuat di laboratorium.
Membunuh lebih banyak daripada bubuk mesiu
Berabad-abad setelah penemuan "batang tanaman yang rasanya seperti madu", Saccharum officinarum (dan juga perbudakan) telah mengubah dunia. Bubuk kristal putih gula selain menjadi sumber kalori bagi individu juga secara tidak langsung telah menjadi "bahan bakar" kemajuan peradaban dan teknologi di dunia. Memang begitulah sejarah. Mau tidak mau harus diakui bahwa kemajuan yang kita rasakan hari ini ada sebagian kontribusi "borok sejarah" semacam itu: perbudakan, perang, invasi, dll. Kalau kita lihat di film Eternals (Marvel), di sana diperlihatkan bahwa ketika diutus ke bumi, para Eternals tidak boleh ikut campur dalam urusan manusia, termasuk perang sekalipun. Karena di balik banyaknya yang terbunuh dalam perang, perang itu sendiri menjadi salah satu pendongkrak kemajuan teknologi. Contoh yang paling umum adalah teknologi komputer yang lahir pada perang dunia kedua karena kebutuhan mesin pemecah kode Enigma Jerman, munculnya teknologi fisi nuklir tuk mengebom Jepang, atau perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet yang melahirkan teknologi antariksa yang berkembang pesat hingga hari ini sehingga kita bisa menggunakan GPS dengan akurasi tinggi.
Setelah berabad-abad membunuh para budak kulit hitam di Amerika Latin, kini gula membunuh jutaan orang dengan diabetes dan obesitas. Hingga Yuval Noah Harari menyebut, secara statistik hari ini bubuk gula jauh lebih membunuh dibandingkan bubuk mesiu.
No comments:
Post a Comment