"Assalamualaikum..., Selamat (pagi/siang/sore/malam), Shalom, Om swastiastu, Namo buddhaya, salam kebajikan."
Entah dimulai sejak kapan salam lintas agama menjadi satu prosedur tetap bagi pejabat tuk membuka sambutannya. Menurut saya, sebenarnya sih tidak ada masalah dengan hal itu.
Why though?
Karena tiap-tiap ucapan itu mengandung doa atau harapan yang baik, kan? Entah disampaikan dalam bahasa arab (assalamualaikum berarti semoga keselamatan untukmu), bahasa ibrani (shalom [alaichem] yang berarti [semoga] damai [menyertaimu]), atau bahasa sanskerta sekali pun (om swastiastu kurang lebih juga berarti memohonkan keselamatan untuk lawan bicara). Sampai sini kan tidak ada masalah sebetulnya.
Tetapi, yang jadi masalah adalah... kelamaan.
Cukup ucapkan assalamualaikum dan selamat pagi/siang/sore saja seharusnya sudah cukup. Bahkan lebih singkatnya lagi selamat pagi/siang/sore saja juga seharusnya sudah cukup. Kenapa harus ditambah-tambahi lagi? Intinya kan memohonkan keselamatan. Why must we complicate everything in the name of political correctness. I don't know.
Tangerang Selatan, 12 Oktober 2022
Dalam rangka satu hari satu tulisan (yang biasanya tidak konsisten juga)
No comments:
Post a Comment