Bayangkan kamu hidup 2000 tahun yang lalu, suatu era di mana listrik belum ditemukan dan penerangan buatan belum se-massif sekarang. Satu-satunya sumber penerangan di malam hari adalah lampu minyak atau... cahaya bulan, apalagi ketika sedang purnama.
Bulan, sebagai satelit alami bumi telah banyak berperan dalam kehidupan di planet ini. Tanpanya, orbit planet kita tak akan "terkunci" di kemiringannya yang tetap, sehingga akan terjadi pergolakan iklim yang sangat ekstrem dan kehidupan pun akan sulit terjadi (bahkan mungkin tidak mungkin terjadi). Selain faktor fisika (yang baru disadari belakangan), cahayanya telah diglorifikasi selama ratusan bahkan ribuan tahun. Berbagai larik puisi dibuat untuknya, berbagai kisah mitologi tentangnya juga telah diceritakan dari generasi ke generasi.
Lagi-lagi, bayangkan kamu hidup di suatu malam 2000 tahun yang lalu. Dan kebetulan sinar rembulan sedang terang-terangnya. Betapa takjub kamu atas hal itu sehingga kamu pikir pastilah benda angkasa itu merupakan benda yang punya esensi atau bahan dasar yang jauh berbeda dan tentu saja lebih sempurna dibandingkan segala macam hal dan kehidupan di bumi ini. Bentuknya yang bulat sempurna adalah lambang kesempurnaan. Sehingga wajar saja bahwa tak cuma kamu, tapi hampir semua orang mengakui keindahannya, bahkan mengibaratkan wajah kekasih mereka dengan kecantikan sang bulan.
"Wajahmu secantik rembulan."
Lalu kamu pun kembali ke abad 21, di saat orang-orang dengan teleskop super canggihnya, dan dengan berbagai roket yang telah mendarat di sana menyadari bahwa bulan (terutama permukaannya) tidaklah seperti orang-orang jaman dulu bayangkan. Bulan tidaklah bulat sempurna (yang ini sih tergantung bagaimana definisi bulat sempurna itu). Banyak kawah di permukaannya. Ia tak memancarkan cahaya sendiri seperti orang jaman dulu bayangkan, alih-alih hanya memantulkan cahaya dari matahari. (Fun fact: bulan adalah obyek paling terang di langit malam).
Untuk itu, ungkapan "Wajahmu secantik rembulan." agaknya tidak pas bila diartikan bulan secara harfiah dengan berbagai kawah dan ketidaksempurnaannya. Ungkapan tersebut perlu dipahami sebagai kecantikan rembulan sebagai perwujudan dari dewi Artemis dalam budaya Yunani kuno atau Diana dalam budaya Romawi kuno. Bulan sebagai benda langit yang terdiri atas benda-benda quintessential yang tak bisa dan tak seharusnya dipahami oleh makhluk fana (mortal).
Bogor, 3 Oktober 2022
Wajahmu secantik rembulan
No comments:
Post a Comment